Kamis, 13 Maret 2008

Hukum Dua Akad dan Makelar dalam Praktek MLM

Mengenai status MLM, maka dalam hal ini perlu diklasifikasikan berdasarkan
fakta masing-masing. Dilihat dari aspek shafqatayn fi shafqah, atau
bay’atayn fi bay’ah, maka bisa disimpulkan:

1. Ada MLM yang membuka pendaftaran member, yang untuk


itu orang yang akan
menjadi member tersebut harus membayar sejumlah uang tertentu untuk
menjadi member – apapun istilahnya, apakah membeli posisi ataupun yang
lain – disertai membeli produk. Pada waktu yang sama, dia menjadi referee
(makelar) bagi perusahaan dengan cara merekrut orang, maka praktek MLM
seperti ini, jelar termasuk dalam kategori hadits : shafqatayn fi shafqah,
atau bay’atayn fi bay’ah. Sebab, dalam hal ini, orang tersebut telah
melakukan transaksi jual-beli dengan pemakelaran secara bersama-sama dalam
satu akad. Maka, praktek seperti ini jelas diharamkan sebagaimana hadits
di atas.

2. Ada MLM yang membuka pendaftaran member, tanpa harus membeli produk,
meski untuk itu orang tersebut tetap harus membayar sejumlah uang tertentu
untuk menjadi member. Pada waktu yang sama membership (keanggotaan)
tersebut mempunyai dampak diperolehnya bonus (point), baik dari pembelian
yang dilakukannya di kemudian hari maupun dari jaringan di bawahnya, maka
praktek ini juga termasuk dalam kategori shafqatayn fi shafqah, atau
bay’atayn fi bay’ah. Sebab, membership tersebut merupakan bentuk akad,
yang mempunyai dampak tertentu. Dampaknya, ketika pada suatu hari dia
membeli produk – meski pada saat mendaftar menjadi member tidak melakukan
pembelian – dia akan mendapatkan bonus langsung. Pada saat yang sama,
ketentuan dalam membership tadi menetapkan bahwa orang tersebut berhak
mendapatkan bonus, jika jaringan di bawahnya aktif, meski pada awalnya
belum. Bahkan ia akan mendapat bonus (point) karena ia telah mensponsori
orang lain untuk menjadi member. Dengan demikian pada saat itu ia
menandatangani dua akad yaitu akad membership dan akad samsarah
(pemakelaran).

3. Pada saat yang sama, MLM tersebut membuka membership tanpa disertai
ketentuan harus membeli produk, maka akad membership seperti ini justru
merupakan akad yang tidak dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara,
zat dan jasa. Tetapi, akad untuk mendapad jaminan menerima bonus, jika di
kemudian hari membeli barang. Kasus ini, persis seperti orang yang
mendaftar sebagai anggota asuransi, dengan membayar polis asuransi untuk
mendapatkan jaminan P.T. Asuransi. Berbeda dengan orang yang membeli
produk dalam jumlah tertentu, kemudian mendapatkan bonus langsung berupa
kartu diskon, yang bisa digunakan sebagai alat untuk mendapatkan diskon
dalam pembelian selanjutnya. Sebab, dia mendapatkan kartu diskon bukan
karena akad untuk mendapatkan jaminan, tetapi akad jual beli terhadap
barang. Dari akad jual beli itulah, dia baru mendapatkan bonus. Dan
karenanya, MLM seperti ini juga telah melanggar ketentuan akad syar’i,
sehingga hukumnya tetap haram.


Ini dilihat dari aspek shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah,
yang jelas hukumnya haram. Adapun dilihat dari aspek samsarah ‘ala
samsarah, maka bisa disimpulkan, semua MLM hampir dipastikan mempraktekkan
samsarah ‘ala samsarah (pemakelarah terhadap pemakelaran). Karena justru
inilah yang menjadi kunci bisnis multilevel marketing. Karena itu, dilihat
dari aspek samsarah ‘ala samsarah, bisa dikatakan MLM yang ada saat ini
tidak ada yang terlepas dari praktek ini. Padahal, sebagaimana yang
dijelaskan di atas, praktek samsarah ‘ala samsarah jelas bertentangan
dengan praktek samsarah dalam Islam. Maka, dari aspek yang kedua ini, MLM
yang ada saat ini, prakteknya jelas telah menyimpang dari syariat islam.
Dengan demikian hukumnya haram.


Kesimpulan

Inilah fakta, dalil-dalil, pandangan ulama’ terhadap fakta dalil serta
status tahqiq al-manath hukum MLM, dilihat dari aspek muamalahnya.
Analisis ini berpijak kepada fakta aktivitasnya, bukan produk barangnya,
yang dikembangkan dalam bisnis MLM secara umum. Jika hukum MLM dirumuskan
dengan hanya melihat atau berpijak pada produknya – apakah halal ataukah
haram – maka hal itu justru meninggalkan realita pokoknya, karena MLM
adalah bentuk transaksi (akad) muamalah. Oleh karenanya hukum MLM harus
dirumuskan dengan menganalisis keduanya, baik akad (transaksi) maupun
produknya. Mengenai akad (transaksi) maupun produknya. Mengenai akad
(transaksi yang ada dalam MLM telah dijelaskan dalam paparan di atas.

Adapun dari aspek produknya, memang ada yang halal dan haram. Meski
demikian, jika produk yang halal tersebut diperoleh dengan cara yang tidak
syar’i, maka akadnya batil dan kepemilikannya juga tidak sah. Sebab,
kepemilikan itu merupakan izin yang diberikan oleh pembuat syariat (idzn
asy-syari’) untuk memanfaatkan zat atau jasa tertentu. Izin syara’ dalam
kasus ini diperoleh, jika akad tersebut dilakukan secara syar’i, baik dari
aspek muamalahnya, maupun barangnya.

Dengan melihat analisis di atas maka sekalipun produk yang
diperjual-belikan adalah halal, akan tetapi akad yang terjadi dalam bisnis
MLM adalah akad yang melanggar ketentuan syara’ baik dari sisi shafqatayn
fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah
(pemakelaran atas pemakelaran); pada kondisi lain tidak memenuhi ketentuan
akad karena yang ada adalah akad terhadap jaminan mendapat diskon dan
bonus (point) dari pembelian langsung; maka MLM yang demikian hukumnya
adalah haram.

Namun, jika ada MLM yang produknya halal, dan dijalankan sesuai dengan
syariat Islam; tidak melanggar shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu
transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran).
Serta ketentuan hukum syara’ yang lain, maka tentu diperbolehkan.
Masalahnya adakah MLM yang demikian?!

---------------------------------------------------------------------------------------------------------
*) Drs. Hafidz Abdurrahman, MA , menyelesaikan S-1 di IKIP Malang jurusan
bahasa Asing-Arab, menyelesaikan S-2 di University of Malaya, Malaysia,
program studi Islamic Studies.

assyajaah

MLM dalam literatur Fiqh Islam masuk dalam pembahasan Fiqh Muamalah atau
bab Buyu' (Perdagangan). MLM adalah menjual/memasarkan langsung suatu
produk baik berupa barang atau jasa kepada konsumen. Sehingga biaya
distribusi barang sangat minim atau sampai ketitik nol. MLM juga
menghilangkan biaya promosi karena distribusi dan promosi ditangani
langsung oleh distributor dengan sistem berjenjang(pelevelan).

Dalam MLM ada unsur jasa, artinya seorang distributor menjualkan barang
yang bukan miliknya dan ia mendapatkan upah dari prosentasi harga barang
dan jika dapat menjual sesuai target dia mendapat bonus yang ditetapkan
perusahaan. Dalam MLM banyak sekali macamnya dan setiap perusahaan
memiliki spesifikasi tersendiri. Oleh karena itu kami akan memberi jawaban
yang bersifat batasan-batasan umum sebagai panduan bagi umat Islam yang
akan terlibat dalam bidang MLM.

Allah SWT berfirman:

Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba"(QS Al Baqarah 275).

Tolong menolonglah atas kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong atas
dosa dan permusuhan" (QS Al Maidah 2). Rasulullah SAW bersabda:
Perdagangan itu atas dasar sama-sama ridha".(HR al-Baihaqi dan Ibnu
Majah).

Umat Islam terikat dengan persyaratan mereka"(HR Ahmad, Abu Dawud dan
al-Hakim

Diantara hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menjalankan bisnis MLM
antara lain adalah :

Masalah Transparansi
Transparansi penentuan biaya untuk menjadi anggota dan alokasinya harus
dapat dipertanggungjawabkan. Penetapan biaya pendaftaran anggota yang
tinggi tanpa memperoleh kompensasi yang diperoleh anggota baru sesuai atau
yang mendekati biaya tersebut adalah celah dimana perusahaan MLM mengambil
sesuatu tanpa hak.

Transparansi termasuk dalam masalah peningkatan anggota pada setiap
jenjang (level) dan kesempatan untuk berhasil pada setiap orang. Juga
peningkatan posisi bagi setiap orang dalam profesi memang terdapat
disetiap usaha. Sehingga peningkatan level dalam sistem MLM adalah suatu
hal yang dibolehkan selagi dilakukan secara transparan, tidak menzhalimi
fihak yang ada di bawah, setingkat maupun di atas.

Hak dan kesempatan yang diperoleh sesuai dengan prestasi kerja anggota.
Seorang anggota atau distributor biasanya mendapatkan untung dari
penjualan yang dilakukan dirinya dan dilakukan down line-nya. Perolehan
untung dari penjualan langsung yang dilakukan dirinya adalah sesuatu yang
biasa dalam jual beli, adapun perolehan prosentase keuntungan diperolehnya
disebabkan usaha down line-nya adalah sesuatu yang dibolehkan sesuai
perjanjian yang disepakati bersama dan tidak terjadi kedholiman.

Bukan Money Game
MLM adalah sarana untuk menjual produk (barang atau jasa), bukan sarana
untuk mendapatkan uang tanpa ada produk atau produk hanya kamuflase.
Sehingga yang terjadi adalah Money Game atau arisan berantai yang sama
dengan judi.

Produk yang ditawarkan jelas kehalalannya
Produk yang ditawarkan jelas kehalalannya, karena anggota bukan hanya
konsumen barang tersebut tetapi juga memasarkan kepada yang lainnya.
Sehingga dia harus tahu status barang tersebut dan bertanggung-jawab
kepada konsumen lainnya.

Legalisasi Syariah
Alangkah baiknya bila seorang muslim menjalankan MLM yang sudah ada
legalisasi syariahnya. Yaitu perusahaan MLM yang tidak sekedar
mencantumkan label dewan syariah, melainkan yang fungsi dewan syariahnya
itu benar-benar berjalan. Sehingga syariah bukan berhenti pada label tanpa
arti. Artinya, kalau kita datangi kantornya, maka ustaz yang mengerti
masalah syariahnya itu ada dan siap menjelaskan letak halal dan haramnya.


Bukan Milik Musuh Islam
Seorang muslim sebaiknya menghindari diri dari menjalankan perusahaan non
Islam, apalagi milik yahudi, yang keuntungannya justru digunakan untuk
MEMBUNUH saudara kita di belahan bumi lainnya. Meski pun pada dasarnya
kita boleh bermumalah dengan non muslim, selama mereka mau bekerjasama
yang menguntungkan dan juga tidak memerangi umat Islam. Tetapi memasarkan
produk yahudi di masa ini sama saja dengan berinfaq kepada musuh kita
untuk membeli peluru yang merobek jantung umat Islam.


Menjaga Diri Dari Berdusta
Hal yang paling rawan dalam pemasaran gaya MLM ini adalah dinding yang
teramat tipis dengan dusta dan kebohongan. Biasanya, orang-orang yang
diprospek itu dijejali dengan beragam mimpi untuk jadi milyuner dalam
waktu singkat, atau bisa punya rumah real estate, mobil built-up mahal,
apartemen mewah, kapal pesiar dan ribuan mimpi lainnya.

Dengan rumus hitung-hitungan yang dibuat seperti masuk akal, akhirnya
banyak yang terbuai dan meninggalkan profesi sejatinya atau yang kita
kenal dengan istilah 'pensiun dini'. Apalagi bila objeknya itu orang
miskin yang hidupnya senin kamis, maka semakin menjadilah mimpi di siang
bolong itu, persis dengan mimpi menjadi tokoh-tokoh dalam dunia sinetron
TV yang tidak pernah menjadi kenyataan.

Dan simbol-simbol kekayaan seperti memakai jas dan dasi, pertemuan di
gedung mewah atau kemana-mana naik mobil seringkali menjadi jurus
pemasaran. Dan sebagai upaya pencitraan diri bahwa seorang distributor itu
sudah makmur sering terasa dipaksakan. Bahkan istilah yang digunakan pun
bukan sales, tetapi manager atau general manager atau istilah-istilah
keren lain yang punya citra bahwa dirinya adalah orang penting di dalam
perusahaan mewah kelas international. Padahal ujung-ujungnya hanya jualan
obat. Kami tidak mengatakan bahwa trik ini haram, tetapi cenderung terasa
mengawang-awang yang bila masyarakat awam kurang luas wawasannya, bisa
tertipu.

Tidak Ngawur Dalam Menggunakan Dalil
Yang harus diperhatikan pula adalah penggunaan dalil yang tidak pada
tempatnya untuk melegalkan MLM. Seperti sering kita dengar banyak orang
yang membuat keterangan 'palsu' bahwa Rasulullah SAW itu profesinya adalah
pedagang atau menjual sesuatu. Ini jelas eksploitasi sirah Rasulullah SAW
yang perlu diluruskan.

Yang benar adalah bahwa sebelum diangkat menjadi Nabi pada usia 40,
Muhammad itu memang pernah berdagang dan ketika masih kecil memang pernah
diajak berdagang. Namun setelah menjadi nabi, beliau tidak lagi menjadi
pedagang. Ma'isyah beliau adalah dari harta rampasan perang / ghanimah,
bukan dari hasil jualan atau menawarkan barang dagangan, juga bukan dengan
sistem MLM.

Lagi pula kalaulah sebelum jadi nabi beliau pernah berdagang, jelas-jelas
sistemnya bukan MLM. Dan Khadidjah ra itulah Up-linenya beliau sebagaimana
Maisarah juga bukan downline-nya. Terkait dengan itu, ada juga yang
berdalih bahwa sistem MLM merupakan sunnah nabi. Mereka mengaikannya
dengan dakwah berantai / berjenjang yang dilakukan oleh Rasulullah SAW di
masa itu.

Padahal apa yang dilakukan beliau itu tidak bisa dijadikan dalil bahwa
sistem penjualan berjenjang itu adalah sunnah Rasulullah SAW. Sebab ketika
melakukan dakwah berjenjang itu, Rasulullah SAW tidak sedang berdagang
dengan memberikan barang /jasa dan mendapatkan imbalan materi. Jadi tidak
ada transaksi muamalat perdangan dalam dakwah berjenjang beliau. Kalau pun
ada reward, maka itu adalah pahala dari Allah SWT yang punya pahala tak
ada habisnya, bukan berbentuk uang pembelian.


Tetap Menjaga Keseimbangan Produktifitas Ummat
Juga perlu diperhatikan bahwa bila semua orang akan dimasukkan ke dalam
jaringan MLM yang pada hakikatnya menjadi sales menjualkan produk sebuah
industri, maka akan matilah jiwa kreatifitas dan produktifitas ummat.
Sebab di belakang sistem MLM itu sebenarnya adalah industri yang
mengeluarkan produk secara massal.

Padahal umat ini butuh orang-orang yang mampu berkreasi, mencipta,
melakukan aktifitas seni, menemukan hal-hal baru, mendidik, memberikan
pelayanan kepada ummat dan pekerjaan pekerjaan mulia lainnya. Kalau semua
potensi umat ini tersedot ke dalam bisnis pemasaran, maka matilah
kreatifitas umat dan mereka hanya sibuk di satu bidang saja yaitu :
BERJUALAN produk sebuah industri.

Etika Penawaran
Salah satu hal yang paling ‘mengganggu’ dari sistem pemasaran langsung
adalah metode pendekatan penawarannya itu sendiri. Karena memang disitulah
ujung tombak dari sistem penjualan langsung dan sekaligus juga disitulah
titik yang menimbulkan masalah.

Biasanya para distibutor selalu dipompakan semangat untuk mencari calon
pembeli. Istilah yang sering digunakan adalah prospek. Sering hal itu
dilakukan dengan tidak pandang bulu dan suasana. Kejadiannya adalah
seorang teman lama yang sudah sekian tahun tidak pernah berjumpa,
tiba-tiba menghubungi dan berusaha mengakrabi sambil memubuka pembicaraan
masa lalu yang sedemikian mesra. Kemudian melangkah kepada janji bertemu.
Tapi begitu sudah bertemu, ujung-ujungnya menawarkan suatu produk yang
pada dasarnya tidak terlalu dibutuhkan.

Hanya saja karena kawan lama, tidak enak juga bila tidak membeli. Karena
si teman ini menghujaninya dengan sekian banyak argumen mulai dari
kualitas produk yang terkadang sangat fantastis, termasuk peluang
berbisnis di MLM tersebut yang intinya mau tidak mau harus beli dan jadi
anggota.

Apalagi dengan adanya iming-iming bonus yang terkesan wah, yaitu bila
seorang mampu menjaring downline sekian banyak, maka akan dapat mobil
mewah, liburan ke eropa, kapal pesiar dan seterusnya. Bahkan ada yang
mengiming-imingi untuk berhenti bekerja dan pensiun dini, lalu cukup jadi
sales produk MLM itu bisa dapat penghasilan puluhan juta sebulan. Wah,
yang ini lumayan provokatif. Tapi apakah memang para calon distributor itu
sudah paham betul sistem permainannya agar mendapat hadiah fantastis itu
?Pada saat mewarkan dengan sejuta argumen inilah seorang distributor bisa
bermasalah.

http://www.syariahonline.com/search2.php

Tidak ada komentar:

Your Ad Here